DUMAI – SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dalam konteks hukum pidana dapat menimbulkan kontroversi jika dianggap tidak adil. SP3 mengakhiri proses penyidikan suatu perkara, dan alasan penerbitannya seringkali menjadi sorotan, terutama jika melibatkan pihak-pihak berkepentingan.Keadilan dalam hukum adalah tujuan yang harus terus diperjuangkan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Hari ini, Selasa 1 Juli 2025, Kepolisian Republik Indonesia memasuki usia ke-79 tahun. Usia yang tentunya tak lagi muda. Usia yang matang dan sarat dengan pengalaman. Dalam perjalanan yang dilalui, Polri terus berbenah diri mengusung konsep Kepolisian Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan (Polisi Presisi).
Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, dengan fokus pada pencegahan kejahatan, penegakan hukum yang adil, dan respons yang cepat terhadap kebutuhan masyarakat.
Namun sayangnya, masih ditemukan adanya kejanggalan, terutama menyangkut penegakan hukum yang adil. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan Polres Dumai terkait tewasnya SS, Anggota Samapta Polres Dumai di Dream Box Karaoke, menjadi salah satu contoh keputusan hukum yang dinilai tidak berkeadilan.
Bukan hanya tidak adil bagi korban yang harus meregang nyawa akibat kelalaian 6 rekannya serta pengelola Dream Box Karaoke, namun juga tidak adil bagi anak, istri dan keluarga korban lainnya. Mereka kehilangan orang yang dicintai, tanpa tahu penyebab dan siapa yang harus bertanggungjawab.
Korban yang malam itu dalam kondisi sehat dan sedang tugas piket di Mapolres Dumai, dijemput oleh rekannya sesama anggota Polri. Mereka kemudian menuju Dream Box dan menikmati suasana di dalam ruangan karaoke. Namun entah bagaimana awal mula dan penyebabnya, korban tidak sadarkan diri dengan kondisi kejang-kejang dan mulut berbusa.
Tidak jelas dimana posisi 6 orang rekannya yang malam itu sama-sama berada di ruangan karaoke. Juga tidak ada penjelasan, siapa yang memindahkan korban dari dalam ruangan karaoke, dan kemudian mendudukkannya di kursi plastik yang berada di teras, setelah tutupnya Dream Box Karaoke.
Hal yang pasti, korban dalam kondisi meregang nyawa dan mulut berbusa, baru dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil ambulance sekitar pukul 08.00 WIB pagi.
Jika Dream Box Karaoke tutup sesuai Perwako Dumai pukul 01.00 WIB, berarti korban yang dalam kondisi sekarat sempat diterlantarkan sendirian selama 7 jam. Akibat kelalaian atau pembiaran itu, korban akhirnya kehilangan nyawa saat perjalanan ke rumah sakit.
Kematian korban yang bertugas di Sat Samapta Polres Dumai itu sempat viral. Malah 6 personil anggota Polres Dumai dikabarkan sempat diperiksa di Mapolda Riau. Selain itu pihak pengelola Dream Box Karaoke kabarnya juga ikut diperiksa.
Anggota Polres Dumai yang diperiksa itu masing-masingnya berinisial HM dengan pangkat Bripka, MJ berpangkat Brigadir, HC berpangkat Aiptu, St berpangkat Aiptu, MA berpangkat Aipda dan DS berpangkat Briptu. Selain itu juga ikut diperiksa pengelola dan kasir Dream Box Karaoke.
Hanya saja, hingga kini tidak ada penjelasan resmi dari pihak kepolisian terkait proses hukum dan sejauhmana hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan. Alih-alih memberikan penjelasan, pihak kepolisian justru meng-SP3-kan kasus tewasnya anggota kepolisian di tempat hiburan tersebut.
Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor: SPPP/51.a/V/ RES.1.24/2025/Reskrim tersebut dilakukan berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Penghentian Penyidikan nomor: S.Tap/20/V/RES.1.24/2025/Reskrim tanggal 28 Mei 2025.
Sebelum menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pihak kepolisian telah menerima Laporan Polisi dengan nomor laporan: LP/B/72/IV/2025/SPKT /POLRES DUMAI/POLDA RIAU tanggal 10 April 2025.
Kemudian diterbitkan Surat Perintah Penyidikan nomor: SP.Sidik/51/IV/ RES.1.24/ 2025/Reskrim tanggal 23 April 2025 dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan nomor: SPDP/58/IV/RES.1.24/2025/Reskrim tanggal 23 April 2025.
Penerbitan SP3 itu tak ayal mendapat sorotan dari sejumlah praktisi hukum. Mereka berpendapat, dalam kasus hilangnya nyawa manusia di Dream Box Karaoke, sebagaimana Pasal 359 KUHP yang dicantumkan dalam LP, tidak ada alasan polisi untuk meng-SP3-kannya.
Praktisi Hukum, Johanda Saputra, SH mendesak institusi Polri, khususnya Polres Dumai untuk lebih transparan dan akuntabel dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggotanya sendiri.
Publik berhak tahu perkembangan dan alasan di balik setiap keputusan hukum yang diambil. Jangan sampai ada kesan bahwa hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
Sementara Praktisi Hukum di Pekanbaru, Muhammad Febriansyah, SH, MH meminta pihak kepolisian mengusut tuntas kematian anggota Polri dan memeriksa pihak pengelola Dream Box Family Karaoke di Dumai.
Menurutnya, pencabutan LP (Laporan Polisi,red) tidak bisa menjadi alasan hukum kasus tersebut di SP3. Pihaknya menduga proses tersebut dihentikan karena ada peranan pengusaha. Padahal, tidak ada hal yang lebih penting dari nyawa seorang warga negara ketimbang hanya mencari keuntungan bisnis karaoke.
Sedangkan Eko Saputra, SH, MH menyampaikan jika proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian sudah sampai pada tahap penerimaan Laporan Polisi (LP) dan penerbitan Surat Tanda Dimulainya Penyidikan (SPDP), maka kurang tepat dilakukan SP3.
Untuk mengungkap peristiwa hukum yang terjadi, pihak kepolisian menurut Eko Saputra bisa membuka CCTv yang ada di Dream Box Karaoke untuk melihat fakta yang sebenarnya.
Terkait persoalan yang mendapat perhatian publik ini, pihak kepolisian dikatakan Eko Saputra semestinya bisa lebih terbuka dan transparan. Dengan begitu semuanya menjadi terang dan tidak ada kesimpang-siuran informasi. Keputusan atau penerbitan SP3 mesti dijelaskan secara terbuka.
Selain soal terbitnya SP3, penggunaan pasal 359 KUHP dalam kasus itu juga menuai kritik karena konteksnya lebih umum dipakai dalam kasus kecelakaan, bukan kematian mencurigakan di tempat hiburan malam.
Praktisi Hukum, Andre Prayoga, SH menegaskan seharusnya terdapat pertimbangan terhadap pasal yang lebih relevan, seperti Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, mengingat kondisi korban yang mengindikasikan kemungkinan keracunan.
Terkait SP3 yang diterbitkan Polres Dumai, mengacu pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang mengatur alat bukti dalam hukum acara pidana seperti keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, publik dan praktisi hukum menilai bahwa sebenarnya masih banyak ruang penyidikan yang bisa dilakukan.
Para saksi ada, CCTV tersedia, dan pemeriksaan ahli forensik semestinya menjadi bagian wajib dalam pengungkapan sebab kematian. Maka, alasan “tidak cukup bukti” yang dijadikan dasar SP3 dianggap belum memadai secara hukum dan logika.
Secara hukum, penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini menyatakan bahwa penyidikan dapat dihentikan hanya jika tidak cukup bukti, peristiwa bukan tindak pidana, atau demi hukum.
Dalam kasus kematian Bripka SS, banyak elemen pembuktian yang dinilai belum dioptimalkan. Diantaranya keberadaan CCTV di lokasi, kesaksian dari enam anggota polisi yang mendampingi Bripka SS malam itu, serta potensi keterangan ahli forensik.
Praktisi hukum juga mempertanyakan absennya status tersangka dalam penyidikan ini, yang justru menjadi syarat formil dari pemberitahuan SP3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Jika tidak ada tersangka, maka keabsahan SP3 menjadi tanda tanya besar. Terlebih lagi, muncul informasi bahwa penghentian perkara ini didasarkan atas pencabutan laporan oleh istri almarhum, yang dinilai tidak relevan secara hukum karena tindak pidana kematian tergolong delik umum dan tidak dapat dihentikan hanya karena perdamaian.
Merujuk pada Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021, penyelesaian secara damai harus melibatkan pelaku dan korban dalam tindak pidana yang sifatnya ringan dan memenuhi syarat tertentu. Dalam konteks kematian, terlebih yang mengandung indikasi tindak pidana serius, penerapan prinsip ini dinilai tidak tepat.
Masyarakat berharap agar institusi penegak hukum tidak terkesan menutupi atau membiarkan ketidakjelasan hukum berlangsung. Pihak keluarga korban sendiri beberapa waktu lalu mendesak kepolisian agar mengungkap kasus itu hingga tuntas. Termasuk membuka rekamanCCTv (Closed Circuit Television) yang ada di Dream Box.
Hal serupa juga disuarakan Panglima Tameng Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kota Dumai, Tengku Dedek Iskandar yang meminta pihak berwenang memeriksa pengelola Dream Box. Jika terbukti ada pembiaran dan unsur kesengajaan, rekan-rekan korban maupun pihak pengelola Dream Box harus bertanggungjawab.
Namun suara-suara yang muncul itu seakan dianggap angin lalu. Lebih ironinya, belum kering tanah kuburan dan tangisan keluarga korban, kini Dream Box Karaoke sudah kembali buka dan beroperasi seperti biasa.
Hentakan suara musik yang hingar-bingar, seakan “mengubur” peristiwa duka yang pernah terjadi disana. Raungan suara sirine mobil ambulance, Kamis (10/04/25) sekitar pukul 08.00 WIB, serta tangisan anak dan istri korban, kini hanya tinggal kenangan.
Kini, publik menanti transparansi dari Kepolisian, khususnya Polres Dumai, untuk menjelaskan mengapa penyidikan dihentikan dengan begitu cepat, dan apakah benar tidak ada unsur pidana dalam kematian Bripka SS. Dengan begitu, Heboh SP3 tak lagi menjadi “Kado Pahit” HUT Bhayangkara 79 Tahun 2025.
sumber : Kupasberita
editotor : Feri Windria