KUANTAN HILIR SEBERANG – Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kuantan Hilir Seberang semakin tak terkendali. Meskipun aparat kepolisian telah melakukan sejumlah penindakan dengan menangkap beberapa pelaku, hal itu tampaknya belum mampu memberikan efek jera. Justru, aktivitas ilegal ini masih terus berlangsung secara terang-terangan, seolah hukum tak memiliki daya untuk menindaknya.
Salah satu lokasi PETI yang paling mencolok berada di kawasan Rawang Agung, tepat di samping kantor Camat Kuantan Hilir Seberang. Ironisnya, aktivitas ilegal ini bukanlah rahasia lagi bagi warga setempat. Berdasarkan informasi dari sumber terpercaya, tambang ilegal di wilayah ini diduga dikendalikan oleh seorang pria bernama Pebri, yang bekerja bersama belasan pekerja lainnya. Lahan tempat berlangsungnya kegiatan PETI ini disebut-sebut milik Mutar Tekong, yang merupakan ayah dari Pebri.
“Lokasi tambang itu sangat terbuka, berada di tepi jalan, dan persis di samping kantor camat. Semua orang tahu siapa yang mengelola. Mereka bekerja tanpa rasa takut, seolah-olah kebal hukum,” ungkap salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.jum’at.(06/03/2025)
Saat dikonfirmasi, pihak yang diduga memiliki alat dompeng sempat merespons pesan WhatsApp dengan singkat, “Iya, Bang, ada apa?” Namun, tak lama kemudian, pesan tersebut ditarik kembali, seakan ada sesuatu yang ingin ditutupi.
Tak hanya di Rawang Agung, praktik PETI di Kuantan Hilir Seberang telah menjamur di berbagai titik, dengan jumlah yang diduga mencapai puluhan hingga ratusan lokasi. Salah satu nama yang juga disebut-sebut terlibat dalam aktivitas PETI adalah Owul, seorang pemilik ruko yang disewa oleh Alfamart dekat kantor camat. Seorang sumber menyebutkan bahwa Owul memiliki pengaruh besar dalam jaringan PETI di wilayah tersebut.
Muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat: Mengapa PETI masih merajalela meskipun telah ada penindakan? Apakah ada oknum aparat yang terlibat atau justru melindungi aktivitas ilegal ini? Bagaimana mungkin tambang emas ilegal bisa beroperasi dengan leluasa, bahkan di sekitar kantor pemerintahan?
Hal ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran yang sistematis. Jika benar demikian, persoalan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi sudah menyentuh ranah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Masyarakat berhak mendapatkan jawaban yang jelas: Apakah aparat benar-benar serius dalam memberantas PETI, atau justru ada kepentingan lain yang bermain di balik bisnis haram ini?
Hingga berita ini ditayangkan, awak media masih berupaya mengonfirmasi pihak kepolisian dan aparat terkait. Namun, jika praktik PETI terus dibiarkan tanpa penindakan yang tegas, bukan hanya lingkungan yang akan rusak, tetapi juga hukum akan kehilangan wibawanya di mata masyarakat. (Zul)