KUANSING – Perambahan hutan di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) semakin mengkhawatirkan. Tak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menggerus nilai-nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Isu ini menjadi perhatian serius bagi berbagai kalangan, termasuk seniman dan budayawan. Salah satu di antaranya adalah Epi Martison, koreografer nasional dan pegiat budaya asal Kuansing, yang melalui karyanya berupaya menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan.
Dalam diskusi yang berlangsung di grup WhatsApp Poros Kuansing pada Kamis (30/01/2025), Epi Martison menyoroti dampak eksploitasi hutan yang semakin masif. Kritiknya terhadap perusakan alam dituangkan dalam sebuah karya seni koreografi berjudul “Ritus Tergerus Rakus”, sebuah pertunjukan yang menggambarkan kerakusan manusia dalam mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi lingkungan dan budaya.
Karya ini tidak hanya menampilkan tarian, tetapi juga menyisipkan pesan mendalam tentang keterkaitan antara manusia dan alam. Dengan latar cerita yang sarat simbolisme, “Ritus Tergerus Rakus” telah beberapa kali dipentaskan di berbagai ajang seni nasional, mengundang diskusi serta refleksi bagi para penonton.
Epi Martison bukanlah nama asing di dunia seni tari. Sebagai koreografer yang telah menjelajahi berbagai panggung internasional, ia kini mewakili DKI Jakarta dalam ajang Pastakom VIII. Namun, identitasnya tetap berakar kuat di tanah kelahirannya, Kuantan Singingi. Oleh karena itu, dalam setiap karyanya, ia selalu menyisipkan nilai-nilai kearifan lokal, termasuk dalam “Ritus Tergerus Rakus”.
“Kesenian bukan hanya soal estetika, tetapi juga media kritik sosial. Melalui seni, kita ingin menyampaikan pesan bahwa eksploitasi hutan yang berlebihan membawa kehancuran bagi lingkungan dan budaya kita,” ujar Epi Martison.
Menurutnya, perusakan hutan atas nama pembangunan telah merampas lebih dari sekadar pepohonan-ia mengikis peradaban yang berbasis kearifan lokal. Banyak ritual adat yang dahulu erat kaitannya dengan kelestarian hutan dan sungai kini mulai menghilang.
“Dari mana urang mambiak kayu kalau tidak dari dalam hutan? Di mana urang akan bapacu kalau tidak di Batang Kuantan? Jaga hutan, maka akan terselamatkanlah air Kuantan, tempat Pacu Jalur kebanggaan urang Kuantan. Akan terselamatkan pula kearifan adat, adab, peradaban, dan kebudayaan yang ada di batang tubuh urang Kuantan.”
Hutan di Kuansing bukan sekadar bentangan alam, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan sosial bagi masyarakat adat. Selama berabad-abad, masyarakat telah menjadikan hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, baik sebagai sumber pangan, obat-obatan, maupun tempat berlangsungnya berbagai ritual sakral. Namun, deforestasi yang semakin masif kini mengancam keberlanjutan tradisi tersebut.
Pernyataan Epi Martison mendapat perhatian luas dari berbagai pihak. Banyak yang menilai bahwa seni memiliki kekuatan besar dalam menyuarakan isu sosial dan lingkungan. Melalui pertunjukan seperti “Ritus Tergerus Rakus”, para seniman dapat menggugah kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan.
Dengan semakin maraknya eksploitasi hutan di Kuansing, suara dari para seniman dan budayawan seperti Epi Martison menjadi semakin penting. Jika tidak ada tindakan nyata untuk melindungi lingkungan, maka bukan hanya ekosistem yang rusak, tetapi juga identitas budaya yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kuansing selama turun-temurun.
Meskipun pesan yang disampaikan melalui seni mungkin tidak selalu langsung dipahami oleh semua orang, diskusi dan refleksi yang muncul dari karya seperti “Ritus Tergerus Rakus” menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran dan kepedulian bersama.
Ke depan, diharapkan semakin banyak seniman yang menjadikan seni sebagai alat perjuangan, membela lingkungan, dan menjaga kelestarian budaya yang menjadi jati diri masyarakat. Sebab, seperti yang selalu diingatkan oleh para tetua adat: menjaga hutan berarti menjaga kehidupan.